Sunday 22 November 2009

Mari Menyamar Sebagai Manusia Biasa: Refleksi Persiapan Haji


Kawan pasti mahfum bahwa Haji adalah urusan rukun Islam yang ke lima yang wajib ditunaikan oleh umat Islam yang mampu. Karena hanya yang mampu yang diwajikan, maka lazim saja kalau menjadi dambaan setiap orang Islam, yang bahkan bagi sebagian banyak adalah sebagai kebanggaan dan alat positioning dan bargaining dalam konstelasi sosial-politik di kampungnya.

Predikat dambaan yang sekaligus kebanggaan ini tak ayal mengandung cukup banyak jebakan pengotoran hati bagi pelaksananya. Dari sejak memulai niat saja sudah ada jebakan, apalagi kalau sudah mulai mengumpulkan modal. Yang paling sering terjadi adalah bahwa di antara kerabatnya calon haji/hajah sudah tergoda untuk memamerkan niatnya, memamerkan status telah mendaftar, memamerkan saldo tabungan cicilan dan memamerkan masa depan posisi sosial-politiknya yang sebenarnya masih ghaib alias belum tentu akan terjadi. Belum lagi kalau ada arisan/rapat RT, tak urung calon Haji, dan calon Hajah lebih-lebih lagi, biasanya dengan bahasa tubuh yang sepertinya rendah hati nan bijaksana dengan berbusa-busa menebarkan wibawa yang sebenarnya hendak mengatakan, “Waspadalah, suatu saat nanti kalian harus menghormatiku, menempatkan aku sebagai Imam atau paling tidak mempersilakan aku berada di shaf terdepan setiap shalat, kelak kalian akan melihat namaku sebagai pengurus partai berlambang bintang dan kalian akan meminta berkat dariku demi kebaikan hidup kalian…!”

Prosesi yang lebih menjebak lagi adalah waliimatussafar yang berarti jamuan atau pesta bagi orang yang hendak melakukan perjalanan jauh yang ternyata tidak ada tuntunannya baik dari Rasulullah maupun para sahabat. Ini hanya sebuah tradisi yang berlatar keguyuban khas Indonesia, sebuah upacara pameran yang malu-malu unik made-in Indonesia. Memang di situ terdapat niat baik berpamitan, minta didoakan agar perjalanan hajinya lancar dan selamat. Namun seribu setan pun sebenarnya telah mengintip sejak undangan hendak disebarkan. Niat dasar dan besar dari pembuatan undangan bisa jadi dikuasai oleh rasa bangga yang hendak mengatakan, “Wahai dunia, lihatlah aku punya uang banyak dan aku adalah calon orang saleh….” Tak kalah noraknya bila upacara pameran ini disebarkan melalui status update di Facebook dengan bahasa sok rendah hati yang berbunyi, “Waduh…lagi repot banget neh, dari kemarin masak untuk persiapan waliimatussafar. Ya Allah berilah kami kekuatan dan lindungilah kami, semoga perjalanan Haji kami nanti lancar, amiin”.

Kawan, ketahuilah bahwa yang merasa dirinya rendah hati sebenarnya dia adalah orang yang angkuh. Merasa saleh adalah tanda kekurangsalehan. Untuk itu bagi yang kaya, mari menyamar sebagai manusia biasa. Yang tampan, mari menyamar sebagai manusia biasa. Yang saleh, mari menyamar sebagai manusia biasa. Yang berpangkat tinggi, mari menyamar sebagai manusia biasa. Yang kuat, mari menyamar sebagai manusia biasa. Mari menyamar, karena dalam penyamaran itu ada jalan terang menuju Tuhan.

No comments:

Post a Comment